PERMASALAHAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat sekarang sektor pertanian di Indonesia berada di persimpangan jalan. Sektor pertanian memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kokoh dan pesat karena sebagai penunjang kehidupan berjuta-juta masyarakat Indonesia. Sektor ini juga perlu menjadi salah satu komponen utama dalam program dan strategi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Di masa lampau, pertanian Indonesia telah mencapai hasil yang baik dan memberikan kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan secara drastis. Hal ini dicapai dengan memusatkan perhatian pada bahan-bahan pokok seperti beras, jagung, gula,dan kacang kedelai.
Salah satu sektor yang sangat terkait dalam proses pembangunan di negeri ini adalah sektor pertanian dalam arti yang luas. Sektor ini yang memilki potensi yang begitu besar. Sektor pertanian yang dimaksud adalah sektor yang mencakup sub sektor yang meliputinya seperti pertanain sawah, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan, dan kelautan.
Pembangunan sektor pertanian ini dapat merespon dan menjadi katalis pertumbuhan di sektor-sektor lainnya seperti perbankan, keuangan dan bisnis, pergdagangan, pengangkutan/ transportasi, jasa-jasa, dan industri pengolahan terutama industri pengolahan produk pertanian. Faktor lain yang mendukukung sektor pertanian menjadi sektor yang potensial karena kondisi tanah di Indonesia yang begitu subur dengan iklim tropis yang dimungkinkan dapat ditanami berbagai macam tumbuhan dan luas lautan Indonesia yang begitu luas hingga 70 persen luas Indonesia secara keseluruhan.
Ketika kita berbicara pertanian di Indonesia sangat berbeda dengan pertanian yang ada di negara-negara maju. Masih banyak problem dan permasalahan pertanian yang ada di Indonesia. Begitu kompleks permasalahannya karena ketika kita berbicara pertanian maka sesungguhnya kita sedang membicarakan sektor-sektor lainnya yang sangat erat kaitannya dengan pertanian seperti sektor-sektor yang disebutkan sebelumnya
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada latar belakang diatas maka kami mencoba membuat identifikasi permasalahan sebagai berikut :
1. Mengapa Indonesia banyak dibanjiri produk pertanian dari
luar negeri?
2. Mengapa petani kita banyak yang terpinggirkan dalam hal
kepemilikan lahan garapan?.
3. Apa yang menyebabkan lemahnya kelembagaan dan teknologi
ditingkat Petani.
4. Mengapa masyarakat pada umumnya memiliki sikap imperior
terhadap produk pertanian Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Indonesia Banyak Dibanjiri Produk Pertanian dari Luar Negeri.
Tingkat impor Indonesia sangat tinggi terutama dalam sub sektor pertanian tanaman pangan. Hal ini dikarenakan lahan pertanian yang ada di Indonesia sangatlah sempit dan terbagi-bagi ke dalam beberapa sub sektor seperti perkebunan, peternakan,danlain-lain.
Dalam menyikapi hal ini kita harus positif karena tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak melakukan impor. Setiap negara pasti melakukan impor produk pertanian karena beberapa faktor. Seperti kondisi iklim dan struktur tanah yang berbeda-beda yang tentunya produk pertanian yang dihasilkan juga berbeda-beda. Sebagai contoh di Indonesia tidak akan optimal jika berternak karena lahan penggembala yang kecil, menanam gandum karena gandum akan tumbuh secara baik pada iklim sub tropis. Sedangkan Indonesia akan sangat optimal jika ditanami tanaman rempah-rempah, sawit, kopi, teh, dan lain-lain.
Selain itu yang menjadi faktor tingginya impor Indonesia adalah lahan pertanian yang tersedia di Indonesia sangat sempit. Hanya sekitar 21 juta hektar yang sebanding dengan luas lahan kedelai di Brazil. Luas lahan sawah sama dengan luas lahan tebu di Brazil. Luas ladang penggembala di Brazil sama dengan luas seluruh daratan di Indonesia (190 juta hektar).
Dengan luas lahan yang sempit ini sektor pertanain dituntut untuk dapat mencukupi kebutuhan penduduk Indonesia yang jumlahnya sekitar 220 juta jiwa. Dari kedua faktor tersebut tentu sangatlah sulit untuk mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri.
2. Petani Terpinggirkan Dalam Hal Kepemilikan Lahan Garapan.
Maksud dari petani yang terpinngirkan adalah masih banyak petani yang tidak memilki lahan pertanain dan hanya menjadi buruh tani. Hal ini yang menyebabkan petani yang ada di Indonesia tergolong miskin dan menjadi penyebab utama bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang miskin.
Jika kita berbicara tentang profesi petani sesungguhnya idealnya profesi petani di suatu negara hanya 5-10 persen saja dari jumlah penduduk negara tersebut. Sedangkan yang terjadi di Indonesia adalah masyarakat yang bekerja pada sektor pertanain mencapai 40 persen (sekitar 42,8 juta jiwa). Dengan jumlah yang begitu banyak sehingga melebihi titik idealnya sedangkan lahan yang tersedia sedikit dan minim.
3. Lemahnya Kelembagaan dan penguasaan Teknologi di tingkat
Petani
Kelembagaan petani yang ada di Indonesia masih sederhana dan kegiatannya masih temporer yang berbentuk kelompok tani.Penguasaan peralatan teknologi yang dimiliki organisasi petani di Indonesia masih juga sangat minim sekali.
Hal ini terjadi karena sebagian besar petani memiliki tingkat pendidikan yang rendah .Sehingga sangat mempengaruhi kemampuan petani dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Saat ini pada ada umumya kelembagaan kelompok tani di Indonesia hanya bergerak pada urusan penyaluran pupuk bersubsidi dan melaksanakan program bantuan dari pemerintah saja.
4.Imperior Kompleks terhadap produk dalam negeri
Sikap masyarakat yang mempercayai bahwa produk bangsa Indonesia(dalam negeri) lebih buruk dibandingkan dengan produk negara lain. Masyarakat Indonesia lebih bangga menggunakan produk luar negeri dibandingkan dengan menggunakan produk dalam negerinya. Hal yang perlu dilakukan adalah dengan cara mengubah pola pikir masyarakat agar mau memakai produk dalam negeri dan tindakan nyata para pelaku usaha budidaya untuk meningkatkan kualitas produk dalam negeri.
BAB III
P E N U T U P
Dalam mengurai permasalahan pertanian di Indonesia dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Fokus dari peran regulasi dari Departemen Pertanian perlu ditata ulang. Kualitas input yang rendah mempengaruhi produktifitas petani; karantina diperlukan untuk melindungi kepentingan petani dari penyakit dari luar namun pada saat yang bersamaan juga tidak membatasi masuknya bahan baku impor; dan standar produk secara terus menerus ditingkatkan di dalam rantai pembelian oleh sektor swasta, bukan oleh pemerintah.
2. Fokus dalam pendapatan para petani, program pemerintah yang titik beratnya pada komoditas padi tidak lagi dapat menjamin segi pendapatan petani. Pendanaan sangat diperlukan, dan dapat diperoleh dari usaha sementara untuk memenuhi kebutuhan kredit para petani melalui skema kredit yang dibiayai oleh APBN
3. Peningkatan produktifitas adalah kunci dalam peningkatan pendapatan petani, oleh karena itu pembangunan ulang riset dan ternologi dan sistem pemberdayaan petani menjadi sangat diperlukan.
Senin, 25 Oktober 2010
SEJARAH DAN PERMASALAHAN KOTA KUALA KAPUAS
SEJARAH DAN PERMASALAHAN KOTA KUALA KAPUAS
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
I. SEJARAH KOTA KUALA KAPUAS
Berdasarkan Undang Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang pembentukan Daerah Tingkat II menyatakan bahwa Kabupaten Kapuas dengan ibukota Kuala Kapuas adalah Daerah Otonom di Kalimantan Tengah. Kabupaten Kapuas adalah salah satu dari kabupaten otonom eks Daerah Dayak Besar dan Swapraja Kotawaringin yang termasuk dalam wilayah Karesidenan Kalimantan Selatan.
Suku Dayak Ngaju merupakan penduduk asli Kabupaten Kapuas. Suku ini terdiri dari dua sub suku; suku oloh Kapuas-Kahayan dan Oloh Oldaman, bermukim di sebelah kanan kiri Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan antara hilir samapai tengah sungai, sedangkan Oloh Oldman di bagian hulu dari kedua sungai tersebut.
Dalam penuturan pusaka “ Tetek tatum”, nenek moyang suku Dayak Ngaju pada mulanya bermukim di sekitar pegunungan Schwaner di Sentral Kalimantan (Alang, 1981). Barulah pada perkembangan berikutnya suku Dayak Ngaju bermukim menyebar disepanjang tepi Sungai Kapuas dan Kahayan. Penyebaran pemukiman di sepanjang kiri-kanan Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan tidak dapat diketahui dengan pasti kapan mulainya, karena tidak ada peninggalan baik berupa tulisan maupun barang jadi (artefak) yang dapat dijadikan dasar penelitian.
Menurut catatan yang ada pada kerajaan Majapahit, yaitu pada abad XIV dalam kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Pujangga Prapanca dari antar daerah pada tahun 1365 M, menyebutkan adanya permukiman suku dayak Ngaju. Sealin itu juga tercatat dalam naskah Hikayat Banjar, berita Tionghoa pada masa Dinasti Ming (1368-1644 M) dan piagam-piagam perjanjian antara kasultanan Banjar dengan Pemerintah Belanda pada abad XIX memuat berita adanya pemukiman di sepanjang Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan yang disebut pemukiman Lewu Juking. Lewu Juking merupakan sebuah permukiman berumah panjang yang terletak di dekat muara suangai Kapuas Murung (bagian barat delta Pulau Petak yang bermuara ke Laut Jawa) sekitar 10 km dari arah pesisir Laut Jawa. Pemukiman ini cukup banyak, bersama dengan pemukiman sekitar, seperti pemukiman Badapaung dan pemukiman lain sampai muara terusan, berpenduduk sekitar 1000 kepala keluarga. Pemukiman Lewu Juking dan pemukiman sekitarnya dipimpin oleh seorang kepala suku bernama Raden Labih.
Perkampungan dan berada ditepi sungai Kapuas ini sering diserang oleh rombongan bajak laut, walaupun beberapa kali rombongan bajak laut dapat dipukul mundur oleh penduduk Lewu Juking dan sekitarnya, tetapi penduduk merasa kurang aman tinggal di daerah tersebut,sehingga pada tahun 1800 banyak penduduk pindah tempat tinggal mencari tempat yang jauh lebih aman dari gangguan perompak atau bajak laut.
Sebagai konsekuensi dari perpindahan penduduk Lewu Juking dan sekitarnya, maka sepanjang arah Sungai Kapuas dan Sungai Kapuas Murung bermunculan pemukiman-pemukiman baru, seperti di tepi sungai Kapuas Murung muncul pemukiman Palingkau dipimpin oleh Dambung Tuan, pemukiman Sungai Handiwung dipimpin Dambung Duyu, pemukiman sungai Apui (seberang Palingkau) dipimpin oleh Raden Labih yang kemudian digantikan oleh putranya Tamanggung Ambu. Sedangkan di tepi sungai Kapuas terdapat pemukiman baru seperti sungai Basarang, Pulau Telo, Sungai Bapalas, dan sungai Kanamit yang nama-nama pemimpinnya baru diketahui ketika terjadi perlawanan bersenjata terhadap Belanda di sekitar Kuala Kapuas ( 1895 – 1860). Sungai Basarang dipimpin oleh panglima Tangko, Sungai Bapalas oleh Panglima Uyek dan Sungai Kanamit dipimpin oleh Petinggi Sutil.
Perkampungan suku dayak ngaju terdiri dari bangunan rumah yang berukuran besar dan di didiami beberapa kepala keluarga yang di sebut Huma Betang atau Rumah Betang. Selain memiliki fungsi sebagai tempat tinggal yang aman dari serangan musuh Rumah panjang (betang) memilki nilai filosofis tentang hidup bersama yang rukun dan saling menghormati.
II. GEOGRAFIS KAPUAS
Kabupaten Kapuas merupakan salah satu dari 14 kabupaten/kota yang ada di Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah Ibukota Kabupaten Kapuas adalah Kuala Kapuas, berjarak sekitar 140 km arah selatan dari Kota Palangka Raya (Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah) dan 45 km arah tenggara dari kota Banjarmasin (Ibukota Provinsi kalimantan Selatan). Ibukota kabupaten Kapuas adalah Kulala Kapuas. Kuala sendiri berarti delata. Kota Kuala Kapuas adalah kota yang indah, karena berada di tepi sungai pada simpang tiga. Ketiga sungai tersebut adalah Sungai Kapuas Murung dengan panjang 66.375 km, Sungai Kapuas dengan panjang 600.000 km dan daerah Pantai/Pesisir Laut Jawa dengan panjang 189 847 km.
Pemukiman penduduk di Kota Kuala Kapuas terletak di sepanjang tepian sungai Kapuas. Kota ini berasal dari pelabuhan perdagangan skala kecil antar antar daerah dan pulau. Namun pada saat ini jalan lintas Trans Kalimantan telah membuka isolasi Kabupaten Kapuas ke wilayah lainnya di Pulau Kalimantan. Pembangunan Kota Kuala Kapuas cukup intensif khususnya kawasan permukiman dan wilayah kota yang mencakup gedung pemerintahan dan instruktur pendukung lainnya. Sebagai wilayah yang terletak di ujung selatan Propinsi Kalimantan Tengah, Kota Kuala Kapuas adalah pintu gerbang dari arah Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
B. PERMASALAHAN
1. Saluran drainase di lingkungan pemukiman masyarakat perkotaan yang belum tertata dengan baik.
2. Fasilitas Ruang Terbuka Hijau(RTH) belum mencapai 30% dari total wilayah kota Kuala Kapuas.
BAB II
PEMBAHASAN
Adapun pembahasan tentang masalah yang timbul di Kota Kuala Kapuas dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Saluran drainase di lingkungan pemukiman masyarakat perkotaan yang belum tertata dengan baik.
Kota merupakan pusat segala aktifitas kehidupan. Oleh karenanya, kota harus menyediakan fasilitas-fasilitas yang mendukung keberlangsungan aktifitas kehidupan tersebut, seperti prasarana perumahan, industri, perkantoran, pasar, jalan/terminal/stasiun untuk transportasi dan sebagainya. Kondisi demikian maka diperlukan lahan yang cukup dan sarana prasarana pendukung yang memadai, termasuk didalamnya penyediaan air bersih, drainase, dan saluran pembuangan limbah. Ketiga hal ini menjadi satu kesatuan yang harus terintegrasi dalam sistem pengelolaan air di kota.
Drainase (pematusan) kota yang buruk selama ini sering dijadikan penyebab terjadinya banjir (oleh air hujan) di kota, sehingga terkadang secara parsial, penanggulangan masalah banjir hanya tertumpu pada upaya memperbanyak saluransaluran drainase. Padahal perencanaan drainase kota saat ini tidak hanya menganut konsep pematusan atau pengaliran air saja, tapi juga menganut konsep konservasi air perkotaan.Sesuai perkembangan kuantitas dan kualitas masyarakat di Kota Kuala Kapuas menjadi tempat terpusatnya kegiatan masyarakat, senantiasa berkembang baik kuantitas maupun kualitasnya. Perkembangan kota perlu dikelola secara baik agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan masyarakat.
Sebagaimana diketahui fenomena yang terjadi akibat perkembangan kota yang tidak dikelola secara baik contohnya adalah banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah, galian-galian pipa dan kabel yang tidak kunjung selesai, perubahan lahan hijau menjadi lahan komersial, jalan lingkungan/gang yang sempit , pendirian tempat penangkaran burung wallet yang di komplek pemukiman dan lainnya, yang semua itu diakibatkan pembangunan yang dilaksanakan tidak secara terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya. Hal ini juga di perparah dengan terbitnya izin pembangunan yang direkomendasikan Pemerintah Daerah sering tidak terpadu dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan.
2. Fasilitas Ruang Terbuka Hijau(RTH) belum mencapai 30% dari total wilayah kota Kuala Kapuas.
Tantangan besar yang terkait dengan pertumbuhan perkotaan, terutama di negara-negara berkembang adalah karena perkembangan kota yang sangat pesat menimbulkan implikasi langsung terhadap kebutuhan sarana dan prasarana perkotaan.
Dalam rangka meminimalkan permasalahan yang dapat timbul sebagai akibat dari pertumbuhan kota Kuala Kapuas, perlu dilakukan perencanaan kota yang sistematik dan berkelanjurtan. Adapun jenis aktivitas perencanaan pada dasarnya dapat dibedakan berdasarkan kriteria: sifat tujuan perencanaan, lingkup aktivitas perencanaan yang tercakup; hierarki/tingkat spasial, dan hierarki operasional. Dalam konteks ini perencanaan kota/perkotaan merupakan salah jenis perencanaan berdasarkan hierarki spasial, yakni pada tingkat/skala kota atau kawasan perkotaan.Perencanaan kota/perkotaan berorientasi pada aspek fisik dan spasial. Dalam hal ini perencanaan kota/perkotaan penyiapan dan antisipasi kondisi kota pada masa yang akan datang, dengan titik berat pada aspek spasial dan tata guna lahan, yang dimaksudkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan masyarakat kota dalam mencapai kesejahteraan.
Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.
BAB III
PENUTUP
Adapun kesimpulan dari berbagai permasalahan yang terjadi di kota Kuala Kapuas adalah sebagai berikut:
1. Konsep pengelolaan air perkotaan harus mengacu pada konsep pembangunan yang telah digagas oleh United Nation Enviromental Program (UNEP) yakni pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan mendasarkan pada konsep memadukan pembangunan dengan konservasi, dimana pembangunan yang tetap menghormati, peduli dan memelihara komunitas dalam kehidupan lingkungan, serta tetap berusaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup.
2. Target luas sebesar 30% dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal. Ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat. Proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat.
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
I. SEJARAH KOTA KUALA KAPUAS
Berdasarkan Undang Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang pembentukan Daerah Tingkat II menyatakan bahwa Kabupaten Kapuas dengan ibukota Kuala Kapuas adalah Daerah Otonom di Kalimantan Tengah. Kabupaten Kapuas adalah salah satu dari kabupaten otonom eks Daerah Dayak Besar dan Swapraja Kotawaringin yang termasuk dalam wilayah Karesidenan Kalimantan Selatan.
Suku Dayak Ngaju merupakan penduduk asli Kabupaten Kapuas. Suku ini terdiri dari dua sub suku; suku oloh Kapuas-Kahayan dan Oloh Oldaman, bermukim di sebelah kanan kiri Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan antara hilir samapai tengah sungai, sedangkan Oloh Oldman di bagian hulu dari kedua sungai tersebut.
Dalam penuturan pusaka “ Tetek tatum”, nenek moyang suku Dayak Ngaju pada mulanya bermukim di sekitar pegunungan Schwaner di Sentral Kalimantan (Alang, 1981). Barulah pada perkembangan berikutnya suku Dayak Ngaju bermukim menyebar disepanjang tepi Sungai Kapuas dan Kahayan. Penyebaran pemukiman di sepanjang kiri-kanan Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan tidak dapat diketahui dengan pasti kapan mulainya, karena tidak ada peninggalan baik berupa tulisan maupun barang jadi (artefak) yang dapat dijadikan dasar penelitian.
Menurut catatan yang ada pada kerajaan Majapahit, yaitu pada abad XIV dalam kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Pujangga Prapanca dari antar daerah pada tahun 1365 M, menyebutkan adanya permukiman suku dayak Ngaju. Sealin itu juga tercatat dalam naskah Hikayat Banjar, berita Tionghoa pada masa Dinasti Ming (1368-1644 M) dan piagam-piagam perjanjian antara kasultanan Banjar dengan Pemerintah Belanda pada abad XIX memuat berita adanya pemukiman di sepanjang Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan yang disebut pemukiman Lewu Juking. Lewu Juking merupakan sebuah permukiman berumah panjang yang terletak di dekat muara suangai Kapuas Murung (bagian barat delta Pulau Petak yang bermuara ke Laut Jawa) sekitar 10 km dari arah pesisir Laut Jawa. Pemukiman ini cukup banyak, bersama dengan pemukiman sekitar, seperti pemukiman Badapaung dan pemukiman lain sampai muara terusan, berpenduduk sekitar 1000 kepala keluarga. Pemukiman Lewu Juking dan pemukiman sekitarnya dipimpin oleh seorang kepala suku bernama Raden Labih.
Perkampungan dan berada ditepi sungai Kapuas ini sering diserang oleh rombongan bajak laut, walaupun beberapa kali rombongan bajak laut dapat dipukul mundur oleh penduduk Lewu Juking dan sekitarnya, tetapi penduduk merasa kurang aman tinggal di daerah tersebut,sehingga pada tahun 1800 banyak penduduk pindah tempat tinggal mencari tempat yang jauh lebih aman dari gangguan perompak atau bajak laut.
Sebagai konsekuensi dari perpindahan penduduk Lewu Juking dan sekitarnya, maka sepanjang arah Sungai Kapuas dan Sungai Kapuas Murung bermunculan pemukiman-pemukiman baru, seperti di tepi sungai Kapuas Murung muncul pemukiman Palingkau dipimpin oleh Dambung Tuan, pemukiman Sungai Handiwung dipimpin Dambung Duyu, pemukiman sungai Apui (seberang Palingkau) dipimpin oleh Raden Labih yang kemudian digantikan oleh putranya Tamanggung Ambu. Sedangkan di tepi sungai Kapuas terdapat pemukiman baru seperti sungai Basarang, Pulau Telo, Sungai Bapalas, dan sungai Kanamit yang nama-nama pemimpinnya baru diketahui ketika terjadi perlawanan bersenjata terhadap Belanda di sekitar Kuala Kapuas ( 1895 – 1860). Sungai Basarang dipimpin oleh panglima Tangko, Sungai Bapalas oleh Panglima Uyek dan Sungai Kanamit dipimpin oleh Petinggi Sutil.
Perkampungan suku dayak ngaju terdiri dari bangunan rumah yang berukuran besar dan di didiami beberapa kepala keluarga yang di sebut Huma Betang atau Rumah Betang. Selain memiliki fungsi sebagai tempat tinggal yang aman dari serangan musuh Rumah panjang (betang) memilki nilai filosofis tentang hidup bersama yang rukun dan saling menghormati.
II. GEOGRAFIS KAPUAS
Kabupaten Kapuas merupakan salah satu dari 14 kabupaten/kota yang ada di Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah Ibukota Kabupaten Kapuas adalah Kuala Kapuas, berjarak sekitar 140 km arah selatan dari Kota Palangka Raya (Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah) dan 45 km arah tenggara dari kota Banjarmasin (Ibukota Provinsi kalimantan Selatan). Ibukota kabupaten Kapuas adalah Kulala Kapuas. Kuala sendiri berarti delata. Kota Kuala Kapuas adalah kota yang indah, karena berada di tepi sungai pada simpang tiga. Ketiga sungai tersebut adalah Sungai Kapuas Murung dengan panjang 66.375 km, Sungai Kapuas dengan panjang 600.000 km dan daerah Pantai/Pesisir Laut Jawa dengan panjang 189 847 km.
Pemukiman penduduk di Kota Kuala Kapuas terletak di sepanjang tepian sungai Kapuas. Kota ini berasal dari pelabuhan perdagangan skala kecil antar antar daerah dan pulau. Namun pada saat ini jalan lintas Trans Kalimantan telah membuka isolasi Kabupaten Kapuas ke wilayah lainnya di Pulau Kalimantan. Pembangunan Kota Kuala Kapuas cukup intensif khususnya kawasan permukiman dan wilayah kota yang mencakup gedung pemerintahan dan instruktur pendukung lainnya. Sebagai wilayah yang terletak di ujung selatan Propinsi Kalimantan Tengah, Kota Kuala Kapuas adalah pintu gerbang dari arah Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
B. PERMASALAHAN
1. Saluran drainase di lingkungan pemukiman masyarakat perkotaan yang belum tertata dengan baik.
2. Fasilitas Ruang Terbuka Hijau(RTH) belum mencapai 30% dari total wilayah kota Kuala Kapuas.
BAB II
PEMBAHASAN
Adapun pembahasan tentang masalah yang timbul di Kota Kuala Kapuas dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Saluran drainase di lingkungan pemukiman masyarakat perkotaan yang belum tertata dengan baik.
Kota merupakan pusat segala aktifitas kehidupan. Oleh karenanya, kota harus menyediakan fasilitas-fasilitas yang mendukung keberlangsungan aktifitas kehidupan tersebut, seperti prasarana perumahan, industri, perkantoran, pasar, jalan/terminal/stasiun untuk transportasi dan sebagainya. Kondisi demikian maka diperlukan lahan yang cukup dan sarana prasarana pendukung yang memadai, termasuk didalamnya penyediaan air bersih, drainase, dan saluran pembuangan limbah. Ketiga hal ini menjadi satu kesatuan yang harus terintegrasi dalam sistem pengelolaan air di kota.
Drainase (pematusan) kota yang buruk selama ini sering dijadikan penyebab terjadinya banjir (oleh air hujan) di kota, sehingga terkadang secara parsial, penanggulangan masalah banjir hanya tertumpu pada upaya memperbanyak saluransaluran drainase. Padahal perencanaan drainase kota saat ini tidak hanya menganut konsep pematusan atau pengaliran air saja, tapi juga menganut konsep konservasi air perkotaan.Sesuai perkembangan kuantitas dan kualitas masyarakat di Kota Kuala Kapuas menjadi tempat terpusatnya kegiatan masyarakat, senantiasa berkembang baik kuantitas maupun kualitasnya. Perkembangan kota perlu dikelola secara baik agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan masyarakat.
Sebagaimana diketahui fenomena yang terjadi akibat perkembangan kota yang tidak dikelola secara baik contohnya adalah banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah, galian-galian pipa dan kabel yang tidak kunjung selesai, perubahan lahan hijau menjadi lahan komersial, jalan lingkungan/gang yang sempit , pendirian tempat penangkaran burung wallet yang di komplek pemukiman dan lainnya, yang semua itu diakibatkan pembangunan yang dilaksanakan tidak secara terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya. Hal ini juga di perparah dengan terbitnya izin pembangunan yang direkomendasikan Pemerintah Daerah sering tidak terpadu dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan.
2. Fasilitas Ruang Terbuka Hijau(RTH) belum mencapai 30% dari total wilayah kota Kuala Kapuas.
Tantangan besar yang terkait dengan pertumbuhan perkotaan, terutama di negara-negara berkembang adalah karena perkembangan kota yang sangat pesat menimbulkan implikasi langsung terhadap kebutuhan sarana dan prasarana perkotaan.
Dalam rangka meminimalkan permasalahan yang dapat timbul sebagai akibat dari pertumbuhan kota Kuala Kapuas, perlu dilakukan perencanaan kota yang sistematik dan berkelanjurtan. Adapun jenis aktivitas perencanaan pada dasarnya dapat dibedakan berdasarkan kriteria: sifat tujuan perencanaan, lingkup aktivitas perencanaan yang tercakup; hierarki/tingkat spasial, dan hierarki operasional. Dalam konteks ini perencanaan kota/perkotaan merupakan salah jenis perencanaan berdasarkan hierarki spasial, yakni pada tingkat/skala kota atau kawasan perkotaan.Perencanaan kota/perkotaan berorientasi pada aspek fisik dan spasial. Dalam hal ini perencanaan kota/perkotaan penyiapan dan antisipasi kondisi kota pada masa yang akan datang, dengan titik berat pada aspek spasial dan tata guna lahan, yang dimaksudkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan masyarakat kota dalam mencapai kesejahteraan.
Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.
BAB III
PENUTUP
Adapun kesimpulan dari berbagai permasalahan yang terjadi di kota Kuala Kapuas adalah sebagai berikut:
1. Konsep pengelolaan air perkotaan harus mengacu pada konsep pembangunan yang telah digagas oleh United Nation Enviromental Program (UNEP) yakni pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan mendasarkan pada konsep memadukan pembangunan dengan konservasi, dimana pembangunan yang tetap menghormati, peduli dan memelihara komunitas dalam kehidupan lingkungan, serta tetap berusaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup.
2. Target luas sebesar 30% dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal. Ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat. Proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat.
Label:
drainase,
Kuala Kapuas,
RTH,
UNED
Langganan:
Postingan (Atom)